Nama pria itu Raka. Pemalu, pendiam, tapi hatinya dalam. Ia tak pernah berani bicara soal cinta. Apalagi pada Alya, gadis satu kampung yang diam-diam ia sukai sejak kelas 5 SD.
Raka tahu dirinya bukan siapa-siapa. Tak tampan, tak kaya, dan selalu minder. Jadi ia simpan rasa itu dalam hati, bertahun-tahun. Ia cukup bahagia melihat Alya dari kejauhan—tersenyum, bercanda dengan teman, tumbuh jadi gadis yang makin cantik.
Tapi dunia tak selalu bersahabat dengan hati yang diam.
Menjelang kelulusan SMA, kabar itu tersebar cepat: Alya hamil. Teman-teman heboh, guru-guru mulai bisik-bisik. Raka diam. Seperti biasa, ia hanya bisa memendam kecewa. Hancur, tapi tak bisa menyalahkan siapa-siapa. Alya punya hidup sendiri. Ia punya pilihan.
Yang tak ia sangka: tunangan Alya kabur. Undangan sudah disebar, tenda sudah terpasang. Keluarga Alya panik. Malu. Nama baik di ujung jurang. Dan di tengah kekacauan itu, ayah Alya datang padanya.
> “Raka, maafkan om bicara begini. Tapi om tahu kamu anak baik. Kamu juga dekat sama keluarga kami. Kamu bisa tolong kami?”
Raka tak langsung jawab. Kepalanya panas. Ini bukan sekadar cinta lama. Ini pernikahan. Dengan gadis yang hamil, dari lelaki lain. Dan ia sendiri belum lulus ujian nasional.
> “Om... saya masih sekolah. Nanti sekolah bisa keluarkan saya.”
“Guru-guru sudah om temui. Mereka mengerti. Asal kamu mau. Hanya ini satu-satunya cara jaga nama baik keluarga.”
Dan satu hal lagi... hati Raka masih menyimpan Alya. Meski kecewa. Meski luka.
Beberapa hari sebelum akad, Raka mendatangi ustadz dekat kampungnya. Ia ingin tahu, bagaimana hukum menikahi wanita hamil—bukan karena dirinya.
[Lokasi: Di serambi masjid, selepas Maghrib]
Raka:
“Ustadz… saya sedang bingung. Ada seseorang… yang ingin saya nikahi. Tapi dia sedang hamil. Bukan karena saya. Tapi keluarganya minta saya menikahi dia… untuk menutup aib.”
Ustadz: (mengangguk pelan)
“Kamu ingin membantu ya? Tapi juga ingin tahu hukumnya?”
Raka:
“Iya, saya ingin menolong. Tapi juga takut kalau pernikahannya tidak sah atau berdosa.”
Ustadz:
“Bagus, kamu bertanya dulu. Dalam Islam, menikahi wanita hamil karena zina itu diperbolehkan oleh banyak ulama, seperti dari mazhab Syafi’i dan Hambali. Tapi… ada syarat penting.”
Raka:
“Apa itu, Ustadz?”
Ustadz:
“Perempuan itu tidak boleh digauli sampai dia melahirkan. Karena dalam Islam, rahim itu harus jelas asal usulnya. Kalau tidak hati-hati, bisa tumpang tindih nasab.”
Raka: (mengangguk perlahan)
“Lalu, apakah perlu menikah ulang setelah dia melahirkan?”
Ustadz:
“Ini bagian pentingnya. Kalau kamu mau lebih tenang dan menghindari keraguan, maka sebaiknya akad diulang setelah dia melahirkan. Para ulama menyebutnya sebagai bentuk kehati-hatian, bukan karena akad pertama tidak sah, tapi untuk memastikan semuanya bersih dan sah secara penuh.”
Raka:
“Itu tidak dianggap bid’ah, Ustadz?”
Ustadz: (tersenyum)
“Tidak, selama niatmu bukan main-main atau menambah ajaran. Justru itu bagian dari menjaga syariat. Nabi SAW pun mengajarkan agar kita berhati-hati dalam urusan ibadah dan keluarga.”
Raka:
“Terima kasih, Ustadz. Saya jadi lebih yakin sekarang.”
Ustadz:
“Semoga Allah mudahkan jalanmu, Raka. Kamu bukan cuma menolong keluarga mereka… tapi juga menunjukkan akhlak seorang pria sejati.”
---
Hari itu tiba. Dengan jas pinjaman dan langkah gontai, Raka duduk di hadapan penghulu. Di sampingnya, Alya. Wajahnya pucat. Matanya sembab. Tak ada senyum. Hanya kata “sah” yang terdengar.
Mereka resmi suami istri.
Tapi saat itu, Raka sadar... cinta tak selalu membawa bahagia. Dan akad tak selalu disambut senyuman.
---
Jika Suka kasih komentar ya,
Mana tau nanti kita bikin versi Novel nya 🥰
Terimakasih