Sabtu, 15 Juni 2024

KEKUATAN IMAN SITI HAJAR

  


KEKUATAN IMAN SITI HAJAR

Dari Syria, Nabi Ibrahim membawa Hajar dan Ismail, menyusuri

padang pasir yang kering dan menyengat. Dalam terik matahari di tengah

tengah padang pasir yang kering kerontang, Nabi Ibrahim, menunggang

unta bersama Siti Hajar. Perjalanan agak sukar, namun hal itu tidak

menghambat perjalanan mereka.

Sepanjang perjalanan, dikuatkan hatinya untuk terus bertawakal.

Dia yakin, Allah tidak akan menganiaya hamba-Nya. Pasti ada hikmah

di balik perintah itu. Berbulan bulan perjalanan,tibalah mereka di Makkah.

Nabi Ibrahim masih juga berjalan hingga mereka tiba disebuah lembah

di tengah tengah padang pasir. Lembah ini sunyi sepi. Sepanjang mata

memandang, tak ada pepohonan bahkan mata airsebagaisyarat utama

kehidupan. Tapi Ibrahim tak punya pilihan lain. Allah telah memilih

tempat ini sebagai tempat tinggal Hajar dan anaknya Ismail. Inilah

tempat yang ditunjuk Allah menjadi daerah berlindung anak istrinya.

Nabi Ibrahim turun dari untanya dan mengikat tali unta di sebatang

pokok tamar.

Panas matahari seakan menyengat. Ibrahim sangat haus, namun

ia tidak perduli. Yang difikirkannya, bagaimanakah cara memberitahu

isterinya mengenai perintah Allah itu. Sepanjang perjalanan lidahnya

seolah olah kelu untuk berkata kata. Selepas Siti Hajar diturunkan,

Ibrahim menurunkan semua perbekalan ala kadarnya untuk Hajar

dan Ismail. Ia menata sekedarnya tempat itu. Dibuatnya atap dedaunan

untuk tempat Ismail tidur. Setelah itu diciumnya kening istri yang

dicintainya itu. Dengan suara parau, Ibrahim mohon pamit.“Wahai suamiku, apakah aku akan ditinggalkan bersama anakmu

di sini?”

Tanpa memandang wajah isterinya, Nabi Ibrahim hanya mampu

menganggukkan kepala. “Oh… kiranya karena dosaku menyebabkan

engkau bertindak begini, ampunkanlah aku.Aku tidak sanggup di tinggalkan

di tengah-tengah padang pasir yang kering kerontang ini.”

Nabi Ibrahim menjawab: “Tidak wahai isteriku, bukan karena

dosamu…”

Siti Hajar bertanya lagi: “Kalau bukan karena dosaku, bagaimana

dengan anak ini… Anak ini tidak tahu apa-apa. Tegakah engkau meninggalkannya?”

Kepiluan dan kesedihan Nabi Ibrahim, hanya Allah yang tahu.

Katanya: “Tidak, bukan itu maksudku. Tapi apa dayaku… ketahuilah,

ini semua adalah perintah Allah.”

Apabila disebut perintah Allah, Siti Hajar terdiam. Kelu lidahnya

untuk terus merayu. Terbayang olehnya penderitaan yang bakal dihadapi

sendirian nanti. Dia yakin kalau tidak karena perintah Allah, mana

sanggup suaminya meninggalkan dia serta anaknya di situ.

Siti Hajar berupaya menguatkan tawakkal dan pertolongan kepada

Allah. Namun hatinya masih tertanya-tanya, apakah hikmah dibalik

perintah Allah itu? Ketika gejolak hatinya semakin memuncak, dengan

rahmat Allah, disingkapkan oleh Allah penglihatan Siti Hajar ke suatu

masa akan datang. Digambarkan tempat itu nantinya akan didatangi

oleh manusia dariseluruh pelosok dunia, yang berduyun-duyun datang

untuk membesarkan Allah.

Melihat peristiwa itu, teguhlah hatinya. Cinta dengan Allah, dengan

menegakkan agama-Nya, memerlukan pengorbanan. Lalu dengan

hati yang berat tetapi penuh keyakinan, Siti Hajar berkata kepada

suaminya: “Jika benar ia adalah perintah Allah, tinggalkanlah kami

disini. Aku ridho ditinggalkan.” Suara Siti Hajar mantap sambil menyeka

air matanya.

Ditabahkan hatinya dengan berkata: “Mengenai keselamatan kami,

serah kan lah urusan itu kepada Allah. Pasti Dia akan membela kami.

Tidak mungkin Dia menganiaya kami yang lemah ini.”

Siti Hajar menggenggam tangan suaminya. Kemudian diciumnya,
minta ridho atas segala perbuatannya selama mereka bersama. “Doakanlah
agar datang pembelaan Allah kepada kami,” kata Siti Hajar.
Nabi Ibrahim terharu dan bersyukur. Isterinya, Siti Hajar memang
wanita terpilih. Dia segera mengangkat tangannya untuk berdoa: “Ya
Tuhan kami. Aku tinggalkan anak dan isteriku di padang pasir yang
tandustanpa pohonberkayudanbuah-buahan.YaTuhankami,teguhkanlah
hati mereka dengan mendirikan sholat, jadikanlah hati manusia tertarik
kepada mereka, karuniakanlah rezeki pada mereka daripada buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur kepada-Mu.”
Menetes air matanya mendoakan keselamatan anak dan isteri
yang dicintai. Hati suami mana yang sanggup meninggalkan anak dan
isteri di padang pasir tandussejauh enam bulan perjalanan dari tempat
tinggalnya. Namun atas keyakinan pada janji Allah, ditunaikan juga
perintah Allah walaupun risiko yang bakal dihadapi adalah besar.
Selesai berdoa, tanpa menoleh ke arah isteri dan anaknya, Nabi
Ibrahim terus meninggalkan tempat itu dengan menyerahkan mereka
terus kepada Allah. Tinggallah Siti Hajar bersama anaknya yang masih
merah dalam pelukannya. Diiringi kepergian suaminya dengan linangan
air mata dan syukur.Ditabahkan hati untuk menerima segala kemungkinan
yang akan terjadi.
Tidak lama selepas kepergian Nabi Ibrahim, perbekalan makanan
dan minuman pun habis. Air susunya juga kering sama sekali.
Anaknya Ismail menangis kehausan. Siti Hajar kebingungan. Di
mana hendak di usahakannya air di tengah padang pasir yang kering
kerontang itu?
Ketika dia mencari-cari sumber air, dilihatnya dari jauh seperti
ada air di seberang bukit. Dia berlari ke arah sumber air itu. Tetapi apa
yang dilihatnya hanyalah fatamorgana.
Namun Siti Hajar tidak berputus asa. Dari tempat lain, dia melihat
seolah-olah di tempat di mana anaknya diletakkan memancar sumber
mata air.
Dia pun segera berlari ke arah anaknya. Tetapi sungguh malang,
yang dilihatnya adalah fatamorgana. Tanpa disadari dia bolak-balik
sebanyak tujuh kali antara dua bukit, Safa dan Marwa untuk mencari
sumber air.
Tubuhnya keletihan berlari ke sana ke mari mencari sumber air, namun
tiada tanda-tanda dia akan mendapat air. Sedangkan anak yang kehausan
itu terus menangis sambil menghentak-hentakkan kakinya ke bumi.
Tiba-tiba dengan rahmat Allah, sedang Siti Hajar mencari-cari air,
terpancarlah air dari dalam bumi di ujung kaki anaknya Ismail.
Pada waktu itu gembiranya hati Siti Hajar bukan kepalang. Dia
pun mengambil air itu dan terkeluar dari mulutnya, “Zam, zam, zam..”
yang berarti, berkumpullah, berkumpullah. Seolah-olah dia berkata
kepada air itu, “Berkumpullah untuk anakku.”
Selepas peristiwa itu, banyak kabilah yang berlalu akan berhenti
untuk mengambil air. Ada pula yang terus bermukim di lembah Bakkah
(Makkah) karena dekat dengan sumber air itu. Begitulah kehendak
Allah. Sengaja didatangkan sebab musabab untuk menjadikan Islam
gemilang dan Makkah menjadi tempat ziarah umat manusia.
Dikutip dari kitab: Qashash al-Anbiya’, karya Ibnu Kathir
Penulis
Prof.Dr. HM. Hasballah Thaib, MA
H. Zamakhsyari Hasballah, Lc, MA, Ph.D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syair Insaf Diri ( سياير انساف ديري )

Syair Insaf Diri ( سياير انساف ديري )   Tatkala malam sunyi menyapa ,Ku renung diri dalam gelita, Banyaklah dosa yang ku bawa, Namun hidup t...